BAB II: MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
MANUSIA
DAN KEBUDAYAAN
A. MANUSIA
-
Secara ilmu kimia, manusia dipandang
sebagai kumpulan dari partikel- partikel atom yang membentuk jaringan- jaringan
sistem yang dimiliki oleh manusia.
-
Secara ilmu fisika, manusia merupakan
kumpulan dari berbagai sistem fisik yang saling terkait satu sama lain.
-
Secara biologi, manusia merupakan
makhluk biologis yang tergolong sebagai makhluk mamalia.
-
Secara ilmu ekonomi, manusia merupakan
makhluk yang ingin mendapatkan keuntungan dan selalu memperhitungkan setiap
kegiatan.
-
Secara sosiologi, manusia merupakan
makhluk yang tidak dapat beridiri sendiri.
-
Secara politik, manusia selalu ingin
mempunyai kekuasaan.
-
Secara filsafat, manusia makhluk yang
berbudaya.
Unsur- unsur manusia :
1.
Manusia terdiri dari empat unsur yang saling terkait :
- Jasad
: badan manusia yang terlihat pada luarnya.
- Hayat
: mengandung unsur hidup, ditandai dengan gerak.
- Ruh
: bimbingan dan pimpinan Tuhan, bekerja secara spiritual dan memahami
kebenaran.
- Nafs
: kesadaran tentang diri sendiri.
2.
Manusia sebagai satu kepribadian yang mengandung tiga unsur :
-
Id, merupakan struktur kepribadian yang
paling primitif dan paling tidak nampak.
-
Ego, merupakan bagian atau struktur
kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id.
-
Supergo, merupakan struktur kepribadian
yang paling akhir, muncul kira- kira pada usia lima tahun.
B. HAKEKAT
MANUSIA
a. Makhluk
ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
b. Makhluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
c. Makhluk
biokultural, yaitu makhluk hayati yang budayawi.
d. Makhluk
ciptaan Tuhan yang terkait dengan lingkungan (ekologi), mempunyai kualitas dan martabat
karena kemampuan bekerja dan berkarya.
C.
KEPRIBADIAN
BANGSA TIMUR
Orang- orang sering mendiskusikan
kontras antara kedua konsep Kebudayaan Barat dan Kebudayaan
Timur, menyangka bahwa Kebudayaan Timur lebih mementingkan kehidupan kerohanian,mistik, gotong
royong, dll. Sedangkan Kebudayaan Barat lebih mementingkan kebendaan, pikiran logis, dan
individualisme.
Timur, menyangka bahwa Kebudayaan Timur lebih mementingkan kehidupan kerohanian,mistik, gotong
royong, dll. Sedangkan Kebudayaan Barat lebih mementingkan kebendaan, pikiran logis, dan
individualisme.
D.
PENGERTIAN
KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan- kemampuan lain serta kebiasaan- kebiasaaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
istiadat dan kemampuan- kemampuan lain serta kebiasaan- kebiasaaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
E.
UNSUR-
UNSUR KEBUDAYAAN
Menurut C.Kluckhohn di dalam karyanya berjudul Universal Categories of Culture, ada tujuh unsure
kebudayaan universal, yaitu :
Menurut C.Kluckhohn di dalam karyanya berjudul Universal Categories of Culture, ada tujuh unsure
kebudayaan universal, yaitu :
1. Sistem
Religi (sistem kepercayaan).
2. Sistem
organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem
pengetahuan.
4. Sistem
mata pencaharian hidup dan sistem- sistem ekonomi.
5. Sistem
teknologi dan peralatan.
6. Bahasa.
7. Kesenian.
F.
WUJUD
KEBUDAYAAN
1. Kompleks
gagasan, konsep, dan pikiran manusia : wujud ini disebut sistem budaya.
2. Kompleks
aktivitas : wujud ini disebut sistem sosial
3. Wujud
sebagai benda : aktivitas manusisa yang saling berinteraksi tidak lepas dari
berbagai penggunaan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya.
G.
ORIENTASI
NILAI BUDAYA
1. Hakekat
hidup manusia ( MH )
2. Hakekat
karya manusia ( MK )
3. Hakekat
waktu manusia ( WM )
4. Hakekat
alam manusia ( MA )
5. Hakekat
hubungan manusia ( MN )
H.
PERUBAHAN
KEBUDAYAAN
Penyebab gerak / perubahan pada
kebudayaan :
1. Sebab-
sebab yang berasal dari masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan
jumlah dan komposisi penduduk.
2. Sebab-
sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Beberapa masalah yang menyangkut
proses migrasi besar- besaran adalah :
A. Unsur-
unsur kebudayaan asing manakah yang mudah diterima.
B. Unsur-
unsur kebudayaan asing manakah yang sulit diterima.
C. Individu-
individu manakah yang cepat menerima unsur- unsur baru.
D. Ketegangan-
ketegangan apakah yang timbul sebagai akibat akultrasi tersebut.
I.
KAITAN
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai
dwitunggal, maksudnya bahwa walaupun keduanya berbeda tapi keduanya merupakan
satu kesatuan. Hubungan antara manusia dan kebudayaan dipandang setara dengan
hubungan antara manusia dengan masyarakat yang dinyatakan sebagai diakletis.
Proses dialektis ada tiga tahap, yaitu :
1. Eksternalisasi
: proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya.
2. Obyektivasi
: proses dimana masyarakat menjadi suatu kenyataan yang terpisah dari manusia
dan berhadapan dengan manusia.
3. Internalisasi
: proses dimana manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia
dapat hidup dengan baik.
CONTOH MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Suku DayakCONTOH MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam
rumpun yakni rumpun Klemantan
alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan
yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun
Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju
dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para
linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan
masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa
dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk satu
suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk
bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya
sendiri yaitu Suku
Tidung.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak
di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut
rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan: Dayak
Meratus/Bukit
(alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak
Kendayan
(Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan
rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, Suku Sambas, dan Suku
Kedayan.
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang
dikenali sebagai suku Bakumpai di
sungai Barito
tempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum
digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal
di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa
diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam
penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal
dari kata daya dari bahasa Kenyah,
yang berarti hulu sungai
atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal
dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau
pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari
bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada
tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas
dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di
Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[ Jadi semula istilah orang Daya (orang darat)
ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya
dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar
dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar
(daerah sungai Kahayan)
dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas
Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak
Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua
daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah
Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk
rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai
meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat
yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir
abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks
kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang
tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda,
adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di
atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa
diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang,
‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu
berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang
yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban
menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang
mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu
yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk
asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya,
dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal
istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang
menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal
mula
Secara
umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia.
Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwood dan Blust,
yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan.
Sekitar 4000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan
menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni
pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut
120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa
daratan (para geolog
menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua
Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak
terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai
besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka
harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak
Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak
pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu
sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak
Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan
terjadi antara tahun 1309-1389.
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak
bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan
dan timur kalimantan yang memeluk Islam
keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak,
tapi menyebut dirinya sebagai atau orang
Banjar dan Suku
Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali
menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu
Tangi, Amuntai, Margasari, Batang
Amandit, Batang Labuan Amas
dan Batang Balangan. Sebagian
lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau
Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama
Islam menyebut dirinya sebagai Suku
Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga
berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku
323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan
bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju
menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I
dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung
bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi
pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa
mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun
1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan
Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki
pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan
Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti
piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah
sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar
Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng
Ho,
dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407,
setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila
dan Solok.
Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari
emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya
candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Pembagian
sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para
pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih
masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi
sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub
suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975).
Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan
budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat
istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang
antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang
menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak
pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam
enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan
dan Punan.
Rumpun Dayak Punan
merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara
rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan
kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun
itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam
ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang
khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di
Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri
tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian
(sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju
biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering
disebut banua/benua/binua/benuo. Di
kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat,
(orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi
hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial",
manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
- Dayak Mongoloid,
- Malayunoid,
- Autrolo-Melanosoid,
- Dayak Heteronoid.
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah
seperti "ras Australoid",
"ras Mongoloid
dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi
manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok
manusia.
Tradisi
Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan
foto kuburan Dayak Benuaq di
Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng
(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui
Upacara/Ritual Kenyauw.
Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq
yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian
pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam
sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan.
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi
kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau
anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq
baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan
kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)
Suku Dayak Benuaq :
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan
primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan
sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di
gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan,
Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan
tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir,
penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang
atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara
penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi
penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut
Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam
kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak
Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
Agama
Bagian ini membutuhkan pengembangan
dengan: sumber terpercaya
|
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum
menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik
Riwut sebagai agama Kaharingan
yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan.
Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran
tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan
Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual
pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini
kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai
memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi
Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.
Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah
yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan
Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan
peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai
Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura.
Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi
dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu
Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di
Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat
kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan
agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum
adat
Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum
agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian,
budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang
teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian
kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi
agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya
perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa
yang beragama Buddha,
kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di
kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan
yang tinggal di kecamatan Halong di
Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim
sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk
Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi
lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap
menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak
yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di
pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada
hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai,
Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh
agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Di masa kolonial, orang-orang bumiputera
Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan
orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama
Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman
sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim
sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari
awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke
Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui
Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak
tahun 1407, karena pada masa Dinasti
Ming,
bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke
Maynila,
Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[57]
Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim
yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa
Arab.
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi
Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi
pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang
tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak
menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal
abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama
Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu
masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga
kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir
juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak
laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan
Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat
mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda
memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar
tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di
wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara
Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26
Juni 1835,
Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di
Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah.
Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
Konflik
Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli
Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997
dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara
orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak
dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun
kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang
konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas.
Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300
hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen. Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu
dan Cina memerangi para pendatang Madura;
114 orang tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu
pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara
orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat,
tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena
orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat
kerusuhan terjadi.
Macam-macam suku Dayak menurut rumpun bahasa
Dari
sekian ratus sub suku dayak dengan kelompok bahasanya di antaranya adalah:
Rumpun Dayak Banuaka berbahasa Sulawesi
Selatan
- Suku Dayak Embaloh/Tamambaloh (induk orang Melayu Embau) (Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Kalis (Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Taman (Kalimantan Barat)
Rumpun Orang Daya (= Orang Darat) berbahasa Dayak
Darat
- Suku Dayak Bakati’ (Kalimantan
Barat)
- Bakati’, Rara (Malaysia (Sarawak))
- Bakati’, Sara (Kalimantan Barat)
Rumpun Dayak Kanayatn berbahasa Melayik
Borneo Barat
- Suku Dayak Keninjal (Kalimantan
Barat)
- Suku Dayak Kubitn/Kubing
(Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Kanayatn / Kendayan (Kalimantan
Barat)
- Suku Dayak Damea (Kalimantan
Barat)
- Suku Dayak Selako (Kalimantan
Barat)
Rumpun Dayak Iban (Dayak Laut) berbahasa Melayik Borneo Barat
- Suku Dayak Dau Sekitar kaki Banjaran Kelingkang (Wilayah Borneo
British) dan juga Wilayah Borneo Belanda yaitu Barat & Tengah)
menganjur dari Kwasan Pakit, Mangai, Pangau, Melugu, Po-Ai, Panggil,
Engkeramut, Selepong dan Gua.
- Suku Dayak Saribas Batang Saribas Borneo
- Suku Dayak Balau (Malaysia (Sarawak)
- Suku Dayak Remun (Malaysia (Sarawak)
Rumpun Dayak Melayik (Kotawaringin) berbahasa
Melayik Borneo Barat
- Suku Dayak Pangin (Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Delang (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Belantikan (Kalimantan Tengah)
Rumpun Dayak Meratus-Kutai berbahasa Melayik
Borneo Timur
- Suku
Dayak Meratus
& suku Banjar Hulu
- Suku Kedayan /Orang Bukit/ Kendayan Brunei
- Suku Kutai atau Suku Dayak Kutai ( Kalimantan Timur )
- Suku Berau
Rumpun Dayak Ot Danum berbahasa Barito Barat
- Suku
Dayak Kebahan
(Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Pawan (Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Tebidah (Kalimantan Barat)
- Suku
Dayak Limbai
(Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Cohie (Kalimantan Barat)
- Suku Dayak Malahui (Kalimantan Barat)
Rumpun Dayak Ngaju (Biaju) berbahasa Barito
Barat
- Suku
Dayak Ngaju
(Ngaju Kapuas) (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Kahayan (Ngaju Kahayan) (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Katingan (Ngaju Katingan) (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Mendawai (Kalimantan Tengah)
Rumpun Dayak Dusun-Maanyan berbahasa Barito
Timur
- Suku Dayak Dusun Malang (Barito Utara, Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Dusun Bayan (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Dusun Witu/Kalahien (Barito Selatan, Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Dusun Pepas (Kalimantan Tengah)
Rumpun Dayak Lawangan berbahasa Barito Timur
- Suku Dayak Lawangan (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Kali (Kalimantan Tengah)
- Suku Dayak Bawo (Kalimantan Tengah)
- Suku
Dayak Bentian
(Kalimantan Timur)
- Suku
Dayak Benuaq
(Kalimantan Timur)
- Suku Dayak Paser (Kalimantan Timur)
Rumpun Melanau-Kajang berbahasa Borneo
Utara
- Suku Dayak Bukitan (Kalimantan
Barat)
- Suku Dayak Kajaman
- Suku Dayak Lahanan
- Suku Dayak Sekapan
Seni Tradisional Dayak
Asal Usul
Seni
tari Dayak adalah kesenian tari tradisional masyarakat dayak yang berhubungan
dengan latar belakang budaya yang masih terpelihara di antara sub suku bangsa
Dayak secara umum. Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan.
Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur
wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda,
Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu
kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok
Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis
Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya
Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan
405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus
urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka
menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah
Kalimantan.
Mereka
menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan
nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal
katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut
sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang
Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh
yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan
menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena
suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak
Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai
latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun
ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama
"Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang
artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau
perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini
banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi)
yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh
tradisinya.
Kalimantan
Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan
Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak,
yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama
yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan
Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang
masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah
Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum
bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar
luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan
dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama
Hindu.
Provinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi
cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat.
Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di
Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak
mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya
masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab
Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak,
kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan
mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang
pada masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang
mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan
dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena
sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi
cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi
masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa
itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para
pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam
dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka
masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat
tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal
pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang
merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat
Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap
tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala
Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian
mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya:
misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata
(penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak
Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang
masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka
memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Adapun
segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan
lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai
peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai
perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke
pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan
Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih
asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) pada masa lalu, hingga mereka
berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan
dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa
akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan
dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi
dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama
Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau
kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya
urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara
lainnya.
Untuk
mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat
setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang
dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam
suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar
pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada
kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah
asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat
Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang
Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka
mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh
yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan
mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin
wilayah yang mereka segani.
Pembagian Ciri Tari Dayak
Berdasarkan wilayah penyebaran di
Kalimantan Barat
Bangsa
Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar
diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri
cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1
kelompok kecil yakni:
- Kendayan
/ Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin,
Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten
Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari,
enerjik, stakato, keras.
- Ribunic
/ Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng,
Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah
penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan
membuka, tidak kasar dan halus.
- Iban
/ Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau,
Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang,
dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan),
Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten
Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas
Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul
yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
- Banuaka"
Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah
penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic,
tetapi sedikit lebih halus.
- Kayaanik,
punan, bukat dll.
Selain
terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya,
masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar
dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /
ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak
Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan,
daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning.
Daerah Manjau dsb.
Kemudian
Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan
Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga
Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian
Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa
ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak
Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki
tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain
desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong,
sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai
bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa
tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak
ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang
(antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok
kal-teng), Leboyan.
Latar belakang Tari Dayak Ajat
Temuai Datai
"Ajat
Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang
tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di
diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan / Permohonan
dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai
artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang
didalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari
Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung
(diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa
lampau, di antara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me
dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh,
tindakan memenggal kepala musuh ( Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan
Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya ). Tetapi jika mengayau
mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya
(musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya ( mengayau terdiri
dari berbagai macam adatnya di antaranya Kayau banyau / ramai / serang, Kayau
Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak
lebih dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para
pahlawan yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa
kepala manusia ( musuh ), merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai
seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu
diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada
kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat
melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk
melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam,
dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil
dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi
dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing
(teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang
berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan
yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan
menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya
sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan
penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau
mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan
acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak yakni:
1. Ngunsai Beras ( menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong )
2. Mancong Buloh yaitu, Menebaskan Mandau / Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai.
3. Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai.
4. Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang ) (john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau ( pemimpin Kayau ), Tuwak Pangkar Begil.
1. Ngunsai Beras ( menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong )
2. Mancong Buloh yaitu, Menebaskan Mandau / Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai.
3. Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai.
4. Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang ) (john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau ( pemimpin Kayau ), Tuwak Pangkar Begil.
0 Response to "BAB II: MANUSIA DAN KEBUDAYAAN"
Posting Komentar